Seni Rupa dan Realitas yang Berjarak


MENGAPRESIASI karya seni rupa saat ini bisa menggunakan beragam cara. Boleh hanya melihat saja seperti window shopping, membeli lukisan karena rasa suka, boleh juga membelinya untuk dijual di balai lelang, atau mengapresiasi karya itu setelah melihat, mengamati, mempelajari sembari mencoba mengerti lalu berdialog dengan perupanya hingga kemudian membelinya sebagai benda koleksi.

Lagi-lagi, pameran karya seni rupa seperti menutup mata di tengah situasi pasar seni rupa yang sedang ‘sunyi’ ini –terkecuali karya beberapa seniman yang sedang diburu kolektornya- namun tetap saja memamerkan karyanya untuk diapresiasi publik atau menciptakan minat kolektor-kolektor baru. Semuanya sah saja sepanjang karya itu memang sebuah ekspresi personal seniman atau perupanya.

Demikian juga dengan Rudayat kali ini. Persepsi kita mengenai arketif budaya jalanan agak sedikit diganggu saat melihat lukisan-lukisan foto-realis dan seni rupa jalanan versi Rudayat. Sebelas lukisan dan beberapa gambar grafiti di dinding ruang pajang galeri Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, juga mengganggu persepsi ruang pameran lukisan. Pada karya-karya yang sedang dipamerkan dari tanggal 24 September hingga 11 Oktober 2010 ini, latar belakang realis dengan objek dinding-dinding ruang urban diganggu oleh figur-figur mengambang dan datar. Lukisan realis yang biasanya ilusif dengan kaidah perspektif dan mimetiknya didekonstruksi Rudayat dengan citraan-citraan figur stensilan. Sang kurator pun mewacanakan dua metode yang sinyalir digunakan Rudayat dalam pameran tunggalnya yang bertajuk “de-illusion”, yaitu foto-realis dan grafiti sebagai penegasan sisi kreatif Rudayat pada karya-karya yang dipamerkan kali ini.

Kecenderungan fotografis pada produksi artistik pelukis kian kuat pada karya-karya Rudayat belakangan ini. Kali ini lapisan-lapisan mimetik itu diujarkan secara cukup artikulatif, bahwa persoalan manusia saat ini dapat dibaca melalui lapisan-lapisan citraan yang hadir di sudut-sudut ruang publik urban. Proses kreatif Rudayat memang menggunakan fotografi untuk memindai citraan-citraan yang dikonsumsi masyarakat di dunia maya dan beberapa diambil dari sudut-sudut jalan yang dianggap menarik oleh perupa yang satu ini. Fotografi bagi beberapa pelukis masih dianggap efektif untuk mengumpulkan citraan yang akan dibubuhkan pada bidang kanvas sebagai lukisannya. Maka kesan kedataran atau flatness dari kesan sebuah foto ditekankan dalam pameran ini, bahwa foto memang flat. Dua dimensi saja.

Rudayat menegaskan bahwa figur-figur di atas bidang kanvasnya tidak semua hasil fotografinya sendiri. “Beberapa image diambil dari internet dan komputer. Foto yang terkenal itu juga diambil dari internet,” kata Rudayat usai pembukaan pameran tunggalnya.

Rudayat dikenal tekun menggarap lukisan-lukisannya secara teknis karena skill-nya memang cukup baik. Meski pasar seni rupa kontemporer (lukisan) kini sedang lesu, semangat Rudayat sebagai perupa muda tak membuatnya urung menyajikan karya-karya terbaru dengan metoda ini. Diskursus Jacques Derrida tidak hanya bermartabat bagi kehadiran teks dalam karya sastra atau teks-teks filsafat yang mencurigakan bagi sang Dekonstruksionis untuk dikritik atau dibongkar secara analaitis pasca-strukturalis, kehadiran tanda-tanda visual pada lukisan seperti yang digarap Rudayat cukup menarik juga digunakan untuk menemukan makna-makna baru atas kehadiran lapisan-lapisan visual di atas bidang kanvas.

Rudayat tidak serta merta menganggap 'kehadiran tanda-tanda' kasat mata yang diciptakan melalui sapuan kuas sebagai sesuatu yang 'mencurigakan' karena Rudayat memposisikan tanda-tanda itu sebagai hal yang mengganggu persepsi optis mata kita saja. Lapisan-lapisan itu sengaja hadir mengecoh persepsi dan kesadaran apresian untuk membaca pikiran-pikiran si perupanya. Namun demikian istilah dekonstruksi pada kupasan karya lukis di pameran ini memang tidak tepat karena sebatas just uses it’s discourse.

Sejauh mana gangguan berupa lapisan-lapisan ilutif itu sukses 'mengganggu' apresian bahkan kolektor untuk membeli lukisannya. Di sana Asmudjo Jono Irianto, kurator pameran, menguatkan pewacanaan lukisan-lukisan Rudayat melalui catatan-catatannya.

"Pertama, kalaupun kesan ilusif yang kita tetapkan, maka kesan ilusif yang tampil adalah kesan ilusif yang kacau dan tidka logis, bagaimana mungkin sosok-sosok grafiti tersebut ‘melayang’ menjauhi dinding? Dengan kata lain, sosok-sosok grafiti tersebut mengacaukan dan menganulir logika tuang ilusif pada lukisan foto-realis Rudayat. Itu yang saya sebut sebagai de-illusion pada lukisan Rudayat, hilangnya ilusi ruang yang logis. Kedua, kita justru dapat menempatkan lukisan Rudayat sebagai pernyataan dan penekanan ‘kedataran’ bagi citraan ilusif, semacam pernyataan flatness Greenbergian dan superflat Murakamian. Istimewanya, Rudayat menyatakan kedataran tersebut degan menggunakan tampilan foto-realis. Dalam hal ini, apa yang dilakukan Rudayat bisa sesungguh-sungguhnya disebut de-illusion terhadap citraan yang seolah ilusif," tulis Asmudjo Jono Irianto dalam katalog pameran ini.

Penulis tertarik pada modus operandi perupa saat ini yang mengonsumsi teknologi dalam proses kreatifnya. Tidak hanya Rudayat tapi perupa lain yang dikejar-kejar dateline pameran atau kuota portofolionya sebagai seniman muda di ranah seni rupa kontemporer lokal (Indonesia). Pada pameran ini konsumsi visual menjadi target pameran dimana kolektor yang berminat dapat segera memindahkan karya itu ke ruang private-nya sebagai benda koleksi atau barang dagangan di pasar lukisan. Konsumsi visual seperti halnya karya fotografi memang dapat diaplikasikan ke dalam berbagai genre seni rupa, terutama lukisan, karena menurut sejarahnya lukisan dan fotografi sama-sama mengejar pasar seperti yang dilakukan seniman-seniman Eropa di pertengahan abad ke-18 seperti yang ditulis oleh Ross King (2006) dalam bukunya yang berjudul The Judgment of Paris pada bagian “Monet or Manet?”.

Jonathan E. Schroeder (2002) dalam Visual Consumption juga menegaskan budaya konsumsi visual di masyarakat global belakangan ini. Schroeder menulis di halaman 46 bahwa, “The framework of visual consumption is an attempt to capture the complex interaction between consuming and producing representation in visual culture, dominated by marketing images.” Budaya rupa, citraan, tampilan yang syarat dengan produksi konsumsi tidak bisa lepas dari sistem ekonomi sebagaimana yang sudah ditegaskan oleh para kurator di Amerika, bahwa seni rupa kontemporer memang melulu ekonomi dan karya seni sebagai objek komoditas untuk merayakan budaya kapitalis. Karya Rudayat tentu saja termasuk di dalamnya. Lukisan dengan metoda artistik dan pewacanaan kuratornya lagi-lagi memang berjarak dengan realitas yang sesungguhnya. Paling tidak persoalan citraan ilusif yang muncul dari sebuah lukisan menurut amatan perupa dapat menjadi konsumsi visual yang lain di tengah komoditi visual yang gencar menjual isu di media massa. Rudayat pada pameran ini, dengan praktik apropriasinya, dapat dikatakan sebagai alternatif pencerahan di tengah praktik konsumsi artistik di tanah air. Dinding-dinding urban dijadikan objek lukisannya dengan imbuhan citraan yang sudah dikonsumsi masyarakat di muka bumi ini. ***